Pendekatan Pembelajaran

A. Pengertian Pendekatan Pembelajaran


Istilah pendekatan berasal dari bahasa Inggris approach yang salah satu artinya adalah “Pendekatan”. Dalam pengajaran, approach diartikan sebagai “a way of beginning something” yaitu cara memulai sesuatu. Karena itu, pengertian pendekatan dapat diartikan cara memulai pembelajaran. Dan lebih luas lagi, pendekatan berarti seperangkat asumsi mengenai cara belajar-mengajar. Pendekatan merupakan titik awal dalam memandang sesuatu, suatu filsafat atau keyakinan yang kadang kala sulit membuktikannya.
Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran juga merupakan aktivitas guru di dalam memilih kegiatan pembelajaran, apakah guru akan menjelaskan suatu materi pembelajaran yang sudah tersusun dalam urutan tertentu, ataukah dengan menggunakan materi yang terkait satu dengan lainnya dalam tingkat kedalaman yang berbeda, atau bahkan merupakan materi yang terintegrasi dalam suatu kesatuan multi disiplin ilmu.
Pendekatan pembelajaran menurut Syaiful (2003:68) adalah sebagai aktifitas guru dalam memilih kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebagai penjelas dan juga mempermudah bagi para guru memberikan pelayanan belajar dan juga mempermudah siswa untuk memahami materi ajar yang disampaikan guru, dengan memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.

B.       Macam-macam Pendekatan Pembelajaran Matematika

1.        Pendekatan Kontruktivisme

Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. (Suwarna,2005).
Konstruktivisme adalah sebuah teori belajar dimana teori ini berpusat pada siswa. Dalam penerapan teori ini, siswa adalah objek utama pada proses pembelajaran. Konstruktivisme menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran (student center). Guru hanya menolong siswa untuk membangun/mengembangkan pengetahuan mereka untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Jadi, dapat dikatakan guru hanya menjadi guide (pembimbing) siswa untuk memahami masalah dan memberi siswa kesempatan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan kemampuan mereka sendiri. Guru dapat memberi beberapa petunjuk atau pertolongan yang diperlukan untuk mengarahkan pemikiran siswa dalam menyelesaikan masalah.
Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999) menjelaskan kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Tujuan konstruktivisme adalah membuat siswa mengembangkan pengetahuan siswa. Teori belajar ini membuat siswa aktif dalam mengetahui bagaimana cara menyelesaikan suatu masalah, tidak hanya bergantung pada jawaban guru. Konstruktivisme menginginkan siswa mampu berpendapat atau memberikan umpan balik pada jawaban guru karena siswa sudah bisa menyelesaikan masalah dan memberikan jawaban mereka sesuai dengan pendapat mereka sendiri.
Dalam proses pembelajaran, guru mendapat peran besar dalam membuat situasi yang baik yang dapat membangun keingintahuan siswa tentang pelajaran karena keingintahuan siswa tersebut akan membuat mereka berpikir. Pengalaman tiap siswa yang berbeda yang berhubungan dengan pelajaran yang akan dipelajari akan memberikan titik penyelesaina masalah. Dalam hal ini, karena setiap siswa pasti mempunyai jawaban yang berbeda-beda, seorang guru harus bisa membangun situasi yang memungkinkan bagi siswa untuk berdiskusi.
Guru adalah moderator artinya seorang guru memperhatikan jalannya diskusi, terkadang memberikan pendapat, setuju atau tidak setuju dengan pendapat/pemikiran siswa. Dalam proses ini, siswa akan mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam sharing pendapat. Guru bertugas membuat keputusan/kesimpulan dari hasil diskusi siswa. Diskusi hanya cara yang bisa di terapkan dalam konstrruktivisme, guru juga diperbolehkan menggunakan alat bantu.  Guru dalam pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitaitor, Suparno (1997 : 66) menjabarkan beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut :
1)   Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses penelitian.
2)        Menyediakan atau memberikan kegiatan – kegiatan yang merangsang keingin tahuan siswa membantu mereka untuk mengeskpresikan gagasan – gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa.
3)   Memonitor, mengevalauasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Adapun karakteristik pendekatan konstruktivisme menurut Driver (dalam Paul, 1996:69) bahwa karakteristik pembelajaran konstruktivisme adalah:
a.         Orientasi
Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topic. Siswa diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topic yang akan dipelajari.
b.        Elicitasi
Membantu siswa untuk mengungkapkan idenya secara jelas. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan.
c.         Retrukturisasi ide terdiri dari:
1)    Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi atau pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk mengkotruksi gagasanya kalau tidak cocok atau sebaliknya.
2)   Membangun ide yang baru, yang dapat terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyyan yang diajukan.
3)    Mengevaluasi ide baru dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan baru.
4)   Penggunaan ide dalam banyak situasi ialah ide tau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi, sehingga menjadi lebih lengkap bahkan lebih rinci dengan segala macam kondisinya.
d.        Review
Review adalah bagaimana ide itu berubah. dapat bahwa dalam mengaplikasikan pengetahuanya, seseorang perlu merevisi gagasanya, entah dengan menambah suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.
Sedangkan menurut Smorgansbord (1997:54)) menyatakan beberapa karakteristik tentang konstruktivisme yaitu :
a.  Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya
b.        Belajar merupakan penasiran personal tentang dunia
c.  Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna diembangkan berdasarkan pengalaman
d.        Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi
e.         Belajar harus disituasikan dalam kehidupan yang nyata.
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi 4 tahap yaitu:
1)        Apersepsi
Siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan problematik tentang fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahaman tentang konsep itu.
2)        Eksplorasi
Siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Kemudian secara berkelompok didiskusikan dengan kelompok lain. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena alam di sekelilingnya.
3)        Diskusi dan penjelasan konsep serta
Saat siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan dari guru, maka siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu–ragu lagi tentang konsepsinya.
4)        Pengembangan dan aplikasi.
Guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah – masalah yang berkaitan dengan isu – isu dilingkungannya.

2.        Pendekatan Kontekstual

Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menggapinya.
Pendekatan kontekstual sendiri dilakukan dengan melibatkan komponen komponen pembelajaran yang efektif yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian sebenarnya.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual membantu siswa memperoleh pengalaman dan menemukan pengetahuan atau keterampilan baru. Guru sebagai pengelola kelas lebih banyak memikirkan bagaimana siswa memperoleh pengalaman belajar sehingga siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru secara bermakna melalui pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Komponen-komponen yang mendasari CTL adalah:
1)        Konstruktivisme (Constructivism),
Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektifitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
a.         Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
b.        Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
c.         Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2)        Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran yang berbasis pendekatan kontekstual. Dalam sebuah pembelajran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
a.         Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
b.        Mengecek pemahamansiswa
c.         Membangkitkan respon pada siswa
d.        Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
e.         Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
f.         Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
g.        Membangkitkan lebih banyak lagin pertanyaan dari siswa dan
h.        Menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Pada semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas dan sebagainya.
3)        Inquiri (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hanya mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiri. Dalam pembelejaran matematika, guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan “menemukan”. Guru tidak seharusnya “menyuapi” siswa dengan materi ajarnya, tetapi mengajak siswa berproses untuk menemukan pemahanya sendiri. Siklus inkuiri meliputi :
a.        Observasi (Observation)
b.        Bertanya (Questioning),
c.         Mengajukan dugaan (Hipotesis)
d.        Pengumpulan data (Data Ghatering),
e.         Penyimpulan (Conclusion).
Sedangkan kata kunci dari strategi inquiry adalah siswa menemukan sendiri, dengan langkah-langkah kegiatannya adalah:
a.         Merumuskan masalah
b.        Mengamati atau melakukan observasi
c.    Menganalisis dan menyajikan hasil baik dalam bentuk tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainny,serta
d.    Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audience lainnya.
4)        Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu, baik di ruang kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang berada di luar sana dan mereka semua adalah anggota masyarakat yang sedang belajar. Penggunaan pendekatan kontekstual dalam kelas, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberitahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya.
Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ‘ahlike dalam kelas. “Masyarakat Belajar” bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. “Seorang guru yang mengajari siswanya” bukanlah sebuah contoh masyarakat belajar, karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa. Dalam belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi belajar memberikan informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
5)        Pemodelan (Modeling).
Dalam pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, sebaiknya ada yang bisa dijadikani model bagi siswa. Proses pemodelan tidak harus dilakukan oleh guru saja, tetapi bisa juga guru menunjuk siswa yang dianggap mempunyai kemampuan lebih jika dibandingkan dengan siswa lainnya. Model yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, memberi peluang yang besar bagi siswa lainnya untuk dapat mengerjakan sesuatu dengan baik. Dengan begitu semua siswa mempunyai pengetahuan tentang bagaimana cara belajar atau mengerjakan sesuatu dengan baik dan benar.
6)        Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung “Kalau begitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, ya! Mestinya dengan cara yang baru saya pelajari ini, file computer saya lebih tertata dan lebih rapi”.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses belajar. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit sehingga semakin berkembang. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan refleksi itu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.
7)        Penilaian Autentik (Authentic Assensment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan teridentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan disepanjang proses pembelajaran, maka assesment tidak dilakukannya diakhir periode seperti akhir semester. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya, itulah hakekat penilaian yang sebenarnya. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain. Karakteristik authentic assessment adalah:
a.         Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
b.        Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif
c.        Yang diukur keterampilan dan penampilan, bukan hanya mengingat fakta
d.        Berkesinambungan
e.         Terintegrasi dan
f.         Dapat digunakan sebagai feed back.
Dengan demikian pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaran (Depdiknas, 2003:10).
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan komponen utama pembelajaran efektif dalam pembelajarannya. Untuk melaksanakan hal itu dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimana pun keadaannya. Penerapan pendekatan kontekstual secara garis besar langkah-langkahnya adalah:
1)   Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
2)        Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan
3)        Mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya
4)        Menciptakan  masyarakat belajar
5)        Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran;
6)        Melakukan refleksi di akhir pertemuan, dan
7)        Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Selain berbagai komponen diatas, dalam kegiatan pembelajaran kontektual di kelas, guru harus menyampaikan kaepada siswa tentang relevansi materi yang akan dipelajari dengan kebutuhan keseharianya. Siswa juaga harus dikenalkan dan diajarkan memanfaatkan materi yang dipelajari tersebut untuk memcahkan masalah riil sehari-hari. Missal dalam pembelajaran materi bilangan, siswa diajak untuk menentukan dan memecahkan masalah-masalah kontektual dengan memanfaatkan operasi tambah, kurang, kali, bagi, pangkat bilangan bulat termasuk operasi campuran. Siswa perlu diajarkan tentang penggunaan hal-hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa akan memahami bahwa mereka tidak sedang melakukan sesuatau yang tidak berguna dan asing denga dirinya. Pemahaman siswa terhadap keterkaitan dan kemanfaatan materi yang sedang dipelajari akan mendorong mereka lebih serius belajar. (Dra. MM. Endang Susetyawati, 2011)

3.         Pendekatan Induktif

Pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Ingris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta – fakta yang kongkrit sebanyak mungkin. Berpikir induktif ialah suatu proses berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke umum. Orang mencari ciri – ciri atau sifat – sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri – ciri itu terdapat pada semua jenis fenomena.
Menurut Purwanto (dalam Sagala, 2003 : 77) tepat atau tidaknya kesimpulan atau cara berpikir yang diambil secara induktif bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil berarti refresentatif dan tingkat kepercayaan dari kesimpulan itu makin besar, dan sebaliknya semakin kecil jumlah sampel yang diambil berarti refresentatif dan tingkat kepercayaan dari kesimpulan itu semakin kecil pula. Dalam konteks pembelajaran, pendekatan induktif berarti pengajaran yang bermula dengan menyajikan sejumlah keadan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu konsep, prinsip atau aturan.
Sedangkan menurut Yamin (2008:89) menyatakan bahwa: Pendekatan induktif dimulai dengan pemberian kasus, fakta, contoh, atau sebab yang mencerminkan suatu konsep atau prinsip. Kemudian siswa dibimbing untuk berusaha keras mensintesiskan, menemukan, atau menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran tersebut.
Menurut Sagala (2010:77) langkah-langkah yang harus ditempuh dalam model pembelajaran dengan pendekatan induktif yaitu:
a.         Memilih dan mementukan bagian dari pengetahuan (konsep, aturan umum, prinsip dan sebagainya) sebagai pokok bahasan yang akan diajarkan.
b.        Menyajikan contoh-contoh spesifik dari konsep, prinsip atau aturan umum itu sehingga memungkinkan siswa menyusun hipotesis (jawaban sementara) yang bersifat umum.
c.  Kemudian bukti-bukti disajikan dalam bentuk contoh tambahan dengan tujuan membenarkan atau menyangkal hipotesis yang dibuat siswa.
d.       Kemudian disusun pernyataan tentang kesimpulan misalnya berupa aturan umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah tersebut, baik dilakukan oleh guru atau oleh siswa.
Pada hakikatnya matematika merupakan suatu ilmu yang diadakan atas akal yang berhubungan dengan benda-benda dan pikiran yang abstrak. Ini bertentangan dengan sejarah diperolehnya matematika. Menurut sejarah, matematika ditemukan sebagai hasil pengamatan dan pengalaman yang pernah dikembangkan dengan analogi dan coba-coba (trial dan error).
Para ahli pendidikan matematika menyadari bahwa siswa masih suka menggunakan akalnya dalam belajar, itu berarti menggunakan pendekatan deduktif. Berdasarkan atas pertimbangan ini, dan alasan lain, maka pada program pengajaran sekarang banyak menggunakan jenis pendekatan. Tetapi pada umumnya pendekatan dalam belajar lebih banyak menggunakan pendekatan deduktif dan induktif. Pendekatan induktif menggunakan penalaran induktif yang bersifat empiris. Dengan cara ini konsep-konsep matematika yang abstrak dapat dimengerti murid melalui benda-benda konkret.
Penalaran induktif yang dilakukan melalui pengalaman dan pengamatan ada kelemahannya, yakni kesimpulannya tidak menjamin berlaku secara umum. Oleh karena itu, dalam matematika formal hanya dipakai induksi lengkap atau induksi matematik, sehingga dengan menggunakan induksi lengkap, maka kesimpulan yang ditarik dapat berlaku secara umum.

4.         Pendekatan Deduktif

Pembelajaran dengan pendekatan deduktif terkadang sering disebut pembelajaran tradisional yaitu guru memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Dalam bidang ilmu sains dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama siswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan.
Menurut Setyosari (2010:7) menyatakan bahwa “Berpikir deduktif merupakan proses berfikir yang didasarkan pada pernyataan-pernyataan yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus dengan menggunakan logika tertentu.”
Hal serupa dijelaskan oleh Sagala (2010:76) yang menyatakan bahwa: Pendekatan deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaaan umum kekeadaan yang khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus.
Menurut Sagala (2010:76) langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran adalah
a.            Guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif,
b.     Guru menyajikan aturan, prinsip yang berifat umum, lengkap dengan definisi dan contoh-contohnya,
c.    Guru menyajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus dengan aturan prinsip umum,
d.       Guru menyajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaan umum.
Sedangkan menurut Yamin (2008:89) menyatakan bahwa “Pendekatan deduktif merupakan pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian dijelaskan dalam bentuk penerapannya atau contoh-contohnya dalam situasi tertentu.”
Dalam pendekatan deduktif menjelaskan hal yang berbentuk teoritis kebentuk realitas atau menjelaskan hal-hal yang bersifat umum ke yang bersifat khusus. Disini guru menjelaskan teori-teori yang telah ditemukan para ahli, kemudian menjabarkan kenyataan yang terjadi atau mengambil contoh-contoh. Dari penjelasan beberapa teori dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan deduktif adalah cara berfikir dari hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.

5.         Pendekatan Spiral

Pada pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan spiral, suatu konsep tidak diajarkan dari awal sampai akhir secara sebagian-sebagian, berulang-ulang, atau dalam selang waktu yang terpisah-pisah. Tetapi dalam pembelajaran, mula-mula konsep tersebut dikenalkan dengan cara dan dalam bentuk sederhana yang makin lama makin kompleks dan dalam bentuk abstrak. Pada akhirnya digunakan bentuk umum dalam matematika, di antara selang waktu yang terpisah itu diberikan konsep-konsep lain.
Misalnya dalam pembelajaran konsep A, di selang waktu pertama konsep A dikenalkan dalam sebuah topik dengan cara intuitif melalui benda-benda konkret, atau gambar-gambar sesuai kemampuan siswa dan konsep A dinyatakan dengan notasi symbol yang sederhana. Setelah selang waktu itu selesai, pembelajaran dilanjutkan dengan konsep-konsep lain (misalnya, konsep B dan C), mungkin konsep A dengan notasi yang sederhana itu digunakan dalam konsep B dan konsep C. Di selang-selang waktu yang terpisah selanjutnya, konsep A diajarkan lagi yang makin lama semakin kompleks dan lebih abstrak yang akhirnya menggunakan notasi yang umum digunakan dalam matematika.
Pembelajaran dengan pendekatan spiral dapat dilukiskan seperti gambar spiral di bawah ini. Nampak semakin keatas spiral tersebut melingkar semakin besar, yang menggambarkan makin lama materi yang dibahas semakin tinggi tingkatannya dan semakin luas.
Prosedur pembahasan konsep yang dimulai dengan cara sederhana dari konkret ke abstrak, dari cara intuitif ke analisis, dari penyelidikan (eksplorasi) ke penguasaan, dari tahap paling rendah hingga tahap yang paling tinggi, dalam waktu yang cukup lama, dan dalam selang-selang waktu terpisah-pisah. Pendekatan spiral sangat sesuai dengan perkembangan psikologi anak, dengan demikian prinsip psikologis terpenuhi. Kelemahan dari pendekatan ini adalah memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mengenalkan suatu konsep, ini memungkinkan bagi siswa-siswa pandai mengalami kejenuhan belajar.

6.         Pendekatan Realistik Matematika (RME )

Pengertian pendekatan realistik menurut Sofyan, (2007: 28) “sebuah pendekatan pendidikan yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri”. Menurut Sudarman Benu, (2000: 405) “pendekatan realistik adalah pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar matematika”. Matematika Realistik yang telah diterapkan dan dikembangkan di Belanda teorinya mengacu pada matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika merupakan aktifitas manusia.
Dalam pembelajaran melalui pendekatan realistik, strategi- strategi informasi siswa berkembang ketika mereka menyeleseikan masalah pada situasi- situsi biasa yang telah diakrapiniya, dan keadaan itu yang dijadikannya titik awal pembelajaran pendekatan realistik atau Realistic Mathematic Education(RME) juga diberi pengertian “cara mengajar dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelediki dan memahami konsep matematika melalui suatu masalah dalam situasi yang nyata”. (Megawati, 2003: 4). Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran bermakna bagi siswa.
Realistic Mathematic Education (RME) adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak pada hal- hal yang real bagi siswa(Zulkardi). Teori ini menekankan ketrampilan proses, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (Student Invonting), sebagai kebalikan dari guru memberi (Teaching Telling) dan pada akhirnya murid menggunakan matematika itu untuk menyeleseikan masalah baik secara individual ataupun kelompok. Pada pendekatan Realistik peran guru tidak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator. Sementara murid berfikir, mengkomunikasikan argumennya, mengklasifikasikan jawaban mereka, serta melatih saling menghargai strategi atau pendapat orang lain.
Menurut De Lange dan Van Den Heuvel Parhizen, RME ini adalah pembelajaran yang mengacu pada konstruktifis sosial dan dikhususkan pada pendidikan matematika.(Yuwono: 2001)
Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa RME atau pendekatan Realistik adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sehari- hari sebagai sumber inspirasi dalam pembentukan konsep dan mengaplikasikan konsep- konsep tersebut atau bisa dikatakan suatu pembelajaran matematika yang berdasarkan pada hal- hal nyata atau real bagi siswa dan mengacu pada konstruktivis sosial.
Gravemeijer(dalam Fitri. 2007: 10) menyebutka tiga prinsip kunci dalam pendekatan realistik, ketiga kunci tersebut adalah:
1.       Penemuan kembali secara terbimbing/ matematika secara progresif(Gunded Reinvention/ Progressive matematizing). Dalam menyeleseikan topik- topik matematika, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama, sebagai koknsep- konsep matematika dikemukakan. Siswa diberikan masalah nyata yang memungkinkan adanya penyeleseian yang berbeda.
2.        Didaktif yang bersifat fenomena(didaktial phenomology) topik matematika yang akan diajarkan diupayakan berasal dari fenomenan sehari-hari.
3.  Model yang dikembangkan sendiri(self developed models) dalam memecahkan ‘contextual problem”, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri. Pengembangan model ini dapat berperan dalam menjembatani pengetahuan informal dan pengetahuan formal serta konkret dan abstrak.
Menurut Grafemeijer (dalam fitri, 2007: 13) ada 5 karakteristik pembelajaran matematika realistik, yaitu sebagai berikut:
1.        Menggunakan masalah kontekstual
Masalah konsektual berfungsi sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang digunakan dapat muncul. Bagaimana masalah matematika itu muncul(yang berhubungan dengan kehidupan sehari- hari).
2.        Menggunakan model atau jembatan
Perhatian diarahkan kepada pengembangan model, skema, dan simbolisasi dari pada hanya mentrasfer rumus. Dengan menggunakan media pembelajaran siswa akan lebih faham dan mengerti tentang pembelajaran aritmatika sosial.
3.        Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi yang besar pada saat proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah metode yang lebih formal. Dalam kehidupan sehari- hari diharapkan siswa dapat membedakan pengunaan aritmatika sosial terutama pada jual beli. Contohnya: harga baju yang didiskon dengan harga baju yang tidak didiskon.
4.        Interaktivitas
Negosiasi secara eksplisit, intervensi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jembatan untuk menncapai strategi formal. Secara berkelompok siswa diminta untuk membuat pertanyaan kemudian diminta mempresentasikan didepan kelas sedangkan kelompok yang lain menanggapinya. Disini guru bertindak sebagai fasilitator.
5.        Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya(bersifat holistik)
Aritmatika sosial tidak hanya terdapat pada pembelajaran matematika saja, tetapi juga terdapat pada pembelajaran yang lainnya, misalnya pada akutansi, ekonomi, dan kehidupan sehari- hari.

7.         Pendekatan Problem Solving

Problem atau masalah menurut Hayes (Halgimon SL, 1992:2) adalah suatu kesenjangan (gap) antara di mana Anda berada sekarang dengan tujuan yang Anda inginkan, sedangkan Anda tidak tahu proses apa yang akan dikerjakan.
Menurut Hudoyo (1996:190), suatu pertanyaan merupakan suatu permasalahan bila pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan prosedur rutin, sedangkan pemecahan masalah adalah proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selanjutnya Hudoyo (1996:189) mengemukakan bahwa penyelesaian masalah dapat diartikan sebagai penggunaan matematika baik untuk matematika itu sendiri maupun aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari dan ilmu pengetahuan yang lain secara kreatif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum kita ketahui penyelesaiannya ataupun masalah-masalah yang belum kita kenal.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun pemecahan masalah dapat didefinisikan secara berbeda oleh orang yang berbeda dalam saat yang sama atau oleh orang yang sama pada saat yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya semua sepakat bahwa pemecahan masalah mengandung pengertian sebagai proses berpikir tingkat tinggi dan mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu dalam pengelolaannya diperlukan perencanaan pembelajaran yang matang dan perubahan pola pikir pada diri guru itu sendiri. Dalam perencanaan, guru harus merancang pembelajaran sedemikian rupa sehingga mampu merancang berpikir dan mendorong siswa menggunakan pikirannya secara sadar untuk memecahkan masalah.
Kesulitan bagi guru dalam menerapkan Problem Solving adalah sulitnya mendapatkan atau membuat pertanyaan yang tidak dalam masalah rutin. Selain itu, terkadang guru juga tidak bisa mengerti bagaimana cara menyelesaikan masalah yang tidak rutin tersebut. Bagi siswa kesulitannya adalah mereka hanya berfokus dalam menemukan jawaban. Siswa tidak biasa melakukan masalah yang tidak rutin, mereka hampir selalu menyelesaikan algoritma dan pengenalan masalah.
George Polya menyatakan 4 langkah bagaimana cara membuat penyelesaian dari Problem solving:
1.  Understand the problem (memahami masalah). Siswa diharapkan mengerti atau memahami masalah yang diberikan.
2.        Designing solution (merencanakan penyelesaian). Siswa dapat merancang atau membuat bagaimana penyelesaian dari masalah yang diberikan.
3.   Doing Solution (melaksanakan perhitungan). Melaksanakan rancangan penyelesaian masalah yang sudah dibuat.
4.    Looking Back (memeriksa kembali proses dan huasil). Melihat kembali penyelesaian yang telah dilakukan, jika belum berhasil dapat menggunakan rangcangan penyelesaian masalah yang baru..
Empat tahapan pemecahan masalah dari Polya tersebut merupakan satu kesatuan yang
sangat penting untuk dikembangkan. Salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan
anak dalam pemecahan masalah adalah melalui penyediaan pengalaman pemecahan masalah
memerlukan strategi berbeda-beda dari satu masalah ke masalah lainnya. 



DAFTAR PUSTAKA

Dra. MM. Endang Susetyawati, M. (2011). Modul Belajar dan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Universitas PGRI Yogyakarta.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Sweetest Mathematics Blog Design by Ipietoon